2013/02/06

Escape to The Hidden Paradise: Sawarna Trip

   And the journey begin..

(repost from c'est ma vie in bahasa)
Kali ini gw mau share pengalaman travelling bersama keluarga ke desa Sawarna. Mungkin belum banyak orang yang tau dimana desa Sawarna itu (awalnya gw jg gk taw) dan gw baru tau setelah browsing om Google :) desa Sawarna terletak di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Menurut pengalaman2 yg gw baca di internet, gw langsung berpikir, "kok kyknya ini desa terpencil amat yak.. musti homestay segala". Maklum, waktu SMA gw pernah homestay di daerah Jogja dan itu bukan pengalaman yg menyenangkan. Lanjut, gw baca (dr cerita org) kalo mau ke pantainya itu musti jalan atau naik ojek. Itu pun jalannya gak mulus dan seterusnya. Gw makin mikirin "gmana nanti gw disana yah.." tapi berhubung keluarga gw ikut semua, ya mau gak mau gw musti ikut jg. Masa di tinggal di rumah sendiri lebih gak seru lg.

H-1 gw ud hampir selesai packing. Gw bawa barang2 standar buat ke pantai: celana pendek, sandal jepit, lotion, kaos, dll tapi yg paling penting yg harus di bawa, KAMERA!! Gw bukan orang yang narsis (well dulu gw narsis, sekarang ud menguap ntah kemana) so kamera tentu aja buat mengabadikan pemandangan2 indah :D

Hari H! Rencana berangkat jam 6 pagi (gw ud gedubrakan dr jam 4) tapi agak ngaret jd jam 7 lewat. Biasa orang indo, kalo gak ngaret malah aneh haha. Ada 3 jalan menuju desa Sawarna: Serang-Pandeglang-Malimping-Bayah-Sawarna; Rangkasbitung-Cileles-Gunung Kencana-Malimping-Bayah-Sawarna; Pelabuhan Ratu-Ciabareno-Bayah. Kami pun memilih yang kedua. Dari jalan tol Tangerang-Merak, exit di Balaraja Timur, lanjut Rangkasbitung-Cileles-Gunung Kencana-Malimping-Bayah-Sawarna. Perjalanan yang cukup melelahkan karena pada awalnya jalan mulus tapi kemudian berubah menjadi extreme, berbatu2. Setelah perjalanan yang melelahkan sampailah kami di desa Sawarna sekitar jam 1an dan ternyata di luar dugaan gw! Homestay yang dimaksud bukan tinggal bersama orang tua asuh seperti yg dulu pernah gw alami. Disini per org dikenakan biaya 125 rb per malam, makan 3 kali sehari (disediakan). Rumah yang kami tempati ada 6 kamar tanpa AC. Rumah tersebut adalah rumah mantan Lurah yang sekarang dijadikan homestay oleh pemilik homestay "Little Hula-hula" (Maaf lupa difoto).

Setelah makan siang dan istirahat sebentar, kami memutuskan untuk jalan2 ke pantai. Pantai yang terdekat (1 km jln kaki! ) dari homestay adalah Pantai Pasir Putih Ciantir. Konon, pantai itu jadi tujuan wisata bule2 buat surfing. Disana gak boleh berenang karena ombaknya besar dan menurut cerita, sudah ada beberapa org yang 'bye-bye'.

   
Berhubung gw udah lamaaa gak pernah olah raga, 1 km jalan kaki pk sendal jepit di bawah terik matahari sungguh sangat menyiksa. Dan sialnya gw, gk bw topi sama kacamata hitam padahal kakak gw sama sepupu gw bw :'( Ternyata perjalanan tidak berakhir sampai disitu. Kita harus melewati jembatan gantung yang bikin tangan lemes. belum lagi bila kita nyebrang kadang ada motor lewat, rasanya ud kyk gempa bumi. Setelah berjalan, berjalan dan berjalan sampailah di kawasan wisata Sawarna. Sawah yang subur membuat pemandangan terasa cantik sekali.

hijaunya sawah bak permadani

Ketika berjalan melewati daerah persawahan, hati2 terhadap angin karena bisa menerbangkan topi. Hampir aj tangan gw kelindes motor gara2 ngambil topi kakak gw yg jatuh. Dari gerbang selamat datang, ada pilihan, apakah kita mau ke pantai Pasir Putih atau ke Tanjung Karang. Kami memilih ke pantai terlebih dahulu. Ketika hampir sampai di pantai, pasir putihnya yang seperti bedak bayi segera menyambut kaki kita.

Jelas sekali belum ada fasilitas umum di pantai ini. Tidak ada permainan2 air layaknya di pantai Carita, tidak ada hotel besar, jalan menuju kesini juga tidak bagus. Jelas sekali, pantai ini masih 'tersembunyi'. Berhubung gw pergi saat libur lebaran dan saat itu musim kemarau, terlihat banyak (nggak byk2 amat sih) turis lokal dan beberapa turis mancanegara yang berjalan sambil menenteng papan surfing.
Walaupun musim kemarau dan matahari saat itu sangat terik, tapi air lautnya dingin menyegarkan. Setelah puas foto2, penjaga warung bilang dari pantai bisa jalan langsung ke Tanjung Karang. Akhirnya adventure hari pertama dimulai.. Sambil sebentar2 berhenti untuk foto, gw bersama keluarga memutuskan untuk jalan ke Tanjung Karang. Melewati pantai berpasir, berkarang sampai jalan kembali ke tanah. Saat itu pikiran gw cuma satu, mengejar sunset. Dan inilah Tanjung Karang yang tersohor itu..
hati2 saat berjalan menuju karangnya karena byk sekali bintang laut di air

     Pesona Tanjung Karang memang cukup terkenal diantara fotografer, buktinya cukup banyak fotografer yang berseliweran membawa kamera DSLR dan tripod masing2. Sayangnya saat itu langit tidak mendukung karena agak sedikit mendung. Karena air laut sedang surut, banyak biota laut yang terperangkap di antara karang.
bulu babi
 deburan ombak di Tanjung Karang
 maaf msh amatiran
 sunset di Tanjung Karang

Setelah puas foto2 dan mengingat hari sudah mulai gelap, kami memutuskan kembali ke homestay. Satu hal yang harus diketahui, yaitu minimnya penerangan jalan (hanya dari motor yang lewat dan rumah2) sehingga harus berhati2 apabila berjalan. Sampai di homestay, langsung kalap.. Lapar, capek, ngantuk, dan pengen mandi bercampur jd satu. Akhirnya setelah makan dan mandi, teparlah gw di ranjang, mengingat jadwal bsk pagi berangkat jam 7 pagi untuk ke pantai yang kata tour guidenya, bisa buat berenang karena ombaknya gak gede2 amat dan indah :)

Pagi yang cerah di hari kedua. Rencananya hari ini kita mau pada mandi di pantai Lagoon Pari. Tapi ada perubahan rencana, yaitu gak langsung ke pantai tapi ke Goa Lalay terlebih dulu. "Pergi liat goa dulu, baru nanti ke pantai, terus baru deh pulang" itu kata saudara gw. Maka setelah makan dan cuci muka (tanpa mandi ;p) mulailah adventure hari kedua. Awalnya gw kira, dari homestay ke Goa Lalay itu gak jauh, tapi pikiran itu langsung gw enyahkan. Ntah kami memilih jalan yang jauh atau apa, tapi kok rasanya gak nyampe2. Di mulai dari menyebrangi sungai kecil di dekat homestay, menyusuri pematang sawah dengan padi yg sudah menguning (cantik sekali) menembus hutan, akhirnya sampailah di Goa Lalay.
menyusuri pematang sawah
     hati2 jln d pematangan sawah, buktinya sudah byk korban yg nyungsep!
     
Setelah bertanya2 kepada penduduk sekitar, ternyata Lalay berarti kelelawar aka kalong. Maka tak heran bila byk kelelawar di Goa ini (perhatian: kelelawarnya terdapat di bagian dalam gua, jd ketika gw menyusuri gua, gw sama sekali gak liat kelelawar sebiji pun). Jika menelusuri gua ini, membutuhkan waktu 2 hr 2 mlm dan akan nembus ke Pelabuhan Ratu. Goa ini katanya memiliki patung monyet, ular, dll. Tapi pas gw liat, kok gak ada mirip2nya yah sama monyet. Gw bertanya2 apakah gw yg salah liat atau emang sama sekali gak kyk monyet. Dan kakak gw bilang emang gak kyk monyet hoho. Oh ya jika mau menyusuri gua ini, diharuskan membuka sepatu atau sandal karena dasar gua ini (yg kita injak) adalah lumpur dan air. Dan disarankan memakai celana pendek jika tdk mau celananya basah (walaupun airnya hanya sedengkul).

yang kami injak seperti tanah liat, sehingga licin. harus hati2 menaikinya  
patung monyet (?)
     air sedengkul di Goa Lalay
     
Sebelumnya gw bilang, kita gak liat kelelawar karena kita gk jauh2 amat dan ada satu alasan di balik itu. Kami membuawa 2 senter (1 yg cahayanya kuning dan 1 yg putih) dan 1 emergency lamp tapi ditengah jalan, emergency lamp yg dibawa tour guidenya mati. Oh ya sebelum itu ada satu cerita yg cukup creepy, ketika hendak berfoto, seperti yang bisa dilihat di foto, kita harus naik ke tanah liat yang licin. Persis di depan gw ada 2 saudara gw, 1 ibu dan anaknya. Pas anaknya mau naik (di tarik ibunya) ke tanah liat, terdengar suara jeritan anak perempuan.. "Aaaaaa..." Dengan polosnya gw pikir kalo saudara gw yang teriak. Pas gw tanya dia, dia blg dia gak teriak. Jadi siapa dong yg teriak mengingat saudara gw yg lain ud pada gede2 dan gak mungkin teriak kyk gt. Tapi dalam pikiran gw, gw yakin itu suara kelelawar. Nah setelah emergency lampnya mati, akhirnya kami batal lanjut ke bagian dalam yg katanya lumpur semua. Sebenernya gw jg agak takut sama air yang kita injak karena kata penduduk sekitar, baru2 ini Pandji yang punya acara nangkep2 ular di TV, nangkep ular sanca di gua itu. Maka kembalilah kami ke luar gua untuk melanjutkan perjalanan ke Lagoon Pari. Ajaibnya, ketika sampai di luar, emergency lamp itu nyala kembali..

Kami pun kembali menyusuri pematang sawah dengan padi yang siap dipanen. Tapi, ada hal yang mengejutkan gw. Jalan ke Lagoon Pari lebih jauh drpd ke Goa Lalay oh noo... semoga gw sanggup. Kali ini gw bener2 mendalami lagu ninja hatori 'mendaki bukit lewati lembah' cuma bedanya, gw bukan sekadar mendaki bukit dan melewati lembah tapi juga pematang sawah, sungai, jalan berbatu. Rasanya pas pulang ke rumah gw bakal jd Hulk nih. 

padi yang siap dipanen
four leaf clover!!

Setelah melewati 3 turunan ribuan tanjakan (lebay hehe) dan jalan2 berbatu yang bikin kaki sakit (apalagi pakai sendal jepit! hiking pk sendal jepit bukan pilihan yang tepat) mulai terdegar suara ombak dan sedikit demi sedikit pantainya pun terlihat. Emang bnr yah kata pepatah harus bersusah-susah dahulu baru bersenang-senang kemudian.

 pantai di kejauhan
semakin mendekati
dan akhirnya :') sampai di Lagoon Pari
bersihnya pantai yang masih 'perawan'
gradasi warna air Lagoon Pari

Sayangnya pasir di pantai ini buka seperti di pantai Pasir Putih Ciantir yang seperti bedak bayi, disini banyak karang2 kecil yg bikin kaki sakit bila diinjak (ada beberapa bagian yang pasirnya halus di bagian agak dalam). Maka bila bermain air dan terseret ombak, jangan heran bila sampai banyak luka2 bahkan sampai berdarah. Untungnya gw walaupun terseret ombak, jatuh, sampai minum air laut 2 kali tapi gak ada satu luka pun yang hinggap di badan gw. Puas main air, kami memutuskan kembali ke homestay berhubung saat itu sudah jam 1, wktnya mkn siang. Kami pun meminta tour guide untuk kembali ke homestay lewat jln yg dekat (tdk lewat menuju ke pantai yg tadi kami lewati). Akhirnya setelah melewati bukit, kami dihadapkan pada jembatan gantung yg lebih panjang drpd jembatan gantung untuk menuju pantai Pasir Putih. Dan lengkaplah adventure hari itu karena setelah tadi mendaki bukit, lewati lembah, sawah, menyebrangi sungai dan jalan berbatu, sekarang kami melewati pagar rumah org atau bisa dibilang lewat pemukiman penduduk.

 jembatan gantung yg berbeda dr jembatan gantung menuju pantai Pasir Putih
 

Ada rencana habis mkn siang akan pergi ke Pulau Manuk tapi dibatalkan karena rombongan sudah terlalu capek untuk berjalan lagi, akhirnya sampai hari kedua berakhir, kami stay di homestay untuk beristirahat.
Hari ketiga, saatnya pulang. Berhubung ini adalah hari terakhir libur lebaran bagi sebagian mahasiswa dan pegawai kantoran, bisa dipastikan semakin siang maka akan semakin macet. Maka kami berangkat pagi dan memilih jln lain (untuk pulang) ke arah Pelabuhan Ratu ke arah Ciawi Bogor, kemudian ke arah tol Jakarta. Sebelum pulang, kami singgah terlebih dahulu ke Vihara Nam Hai yang berlokasi di desa Kertajaya/Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa dibagun dibukit dengan ratusan anak tangga oleh Anothai Kamonwathin atau biasa dipanggil Mama Airin. Puas foto2, gw bersama keluarga pun kembali melanjutkan perjalanan pulang 

 
 berfoto di depan patung ular

No comments:

Post a Comment