And the journey begin..
(repost from
c'est ma vie in bahasa)
Kali ini gw mau share pengalaman
travelling bersama keluarga ke desa Sawarna. Mungkin belum banyak orang
yang tau dimana desa Sawarna itu (awalnya gw jg gk taw) dan gw baru tau
setelah browsing om Google :) desa Sawarna terletak di Kecamatan Bayah,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Menurut pengalaman2 yg gw baca di
internet, gw langsung berpikir, "kok kyknya ini desa terpencil amat
yak.. musti homestay segala". Maklum, waktu SMA gw pernah homestay di
daerah Jogja dan itu bukan pengalaman yg menyenangkan. Lanjut, gw baca
(dr cerita org) kalo mau ke pantainya itu musti jalan atau naik ojek.
Itu pun jalannya gak mulus dan seterusnya. Gw makin mikirin "gmana nanti
gw disana yah.." tapi berhubung keluarga gw ikut semua, ya mau gak mau
gw musti ikut jg. Masa di tinggal di rumah sendiri lebih gak seru lg.
H-1 gw ud hampir selesai packing. Gw bawa barang2 standar buat ke
pantai: celana pendek, sandal jepit, lotion, kaos, dll tapi yg paling
penting yg harus di bawa, KAMERA!! Gw bukan orang yang narsis (well dulu
gw narsis, sekarang ud menguap ntah kemana) so kamera tentu aja buat
mengabadikan pemandangan2 indah :D
Hari H! Rencana berangkat
jam 6 pagi (gw ud gedubrakan dr jam 4) tapi agak ngaret jd jam 7 lewat.
Biasa orang indo, kalo gak ngaret malah aneh haha. Ada 3 jalan menuju
desa Sawarna: Serang-Pandeglang-Malimping-Bayah-Sawarna;
Rangkasbitung-Cileles-Gunung Kencana-Malimping-Bayah-Sawarna; Pelabuhan
Ratu-Ciabareno-Bayah. Kami pun memilih yang kedua. Dari jalan tol
Tangerang-Merak, exit di Balaraja Timur, lanjut
Rangkasbitung-Cileles-Gunung Kencana-Malimping-Bayah-Sawarna. Perjalanan
yang cukup melelahkan karena pada awalnya jalan mulus tapi kemudian
berubah menjadi extreme, berbatu2. Setelah perjalanan yang melelahkan
sampailah kami di desa Sawarna sekitar jam 1an dan ternyata di luar
dugaan gw! Homestay yang dimaksud bukan tinggal bersama orang tua asuh
seperti yg dulu pernah gw alami. Disini per org dikenakan biaya 125 rb
per malam, makan 3 kali sehari (disediakan). Rumah yang kami tempati ada
6 kamar tanpa AC. Rumah tersebut adalah rumah mantan Lurah yang
sekarang dijadikan homestay oleh pemilik homestay "Little Hula-hula"
(Maaf lupa difoto).
Setelah makan siang dan istirahat sebentar, kami memutuskan untuk jalan2 ke pantai. Pantai yang
terdekat
(1 km jln kaki! ) dari homestay adalah Pantai Pasir Putih Ciantir.
Konon, pantai itu jadi tujuan wisata bule2 buat surfing. Disana gak
boleh berenang karena ombaknya besar dan menurut cerita, sudah ada
beberapa org yang 'bye-bye'.
Berhubung gw udah lamaaa gak pernah olah raga, 1 km jalan kaki pk
sendal jepit di bawah terik matahari sungguh sangat menyiksa. Dan
sialnya gw, gk bw topi sama kacamata hitam padahal kakak gw sama sepupu
gw bw :'( Ternyata perjalanan tidak berakhir sampai disitu. Kita harus
melewati jembatan gantung yang bikin tangan lemes. belum lagi bila kita
nyebrang kadang ada motor lewat, rasanya ud kyk gempa bumi. Setelah
berjalan, berjalan dan berjalan sampailah di kawasan wisata Sawarna.
Sawah yang subur membuat pemandangan terasa cantik sekali.
hijaunya sawah bak permadani
Ketika berjalan melewati daerah persawahan, hati2 terhadap angin karena
bisa menerbangkan topi. Hampir aj tangan gw kelindes motor gara2
ngambil topi kakak gw yg jatuh. Dari gerbang selamat datang, ada
pilihan, apakah kita mau ke pantai Pasir Putih atau ke Tanjung Karang.
Kami memilih ke pantai terlebih dahulu. Ketika hampir sampai di pantai,
pasir putihnya yang seperti bedak bayi segera menyambut kaki kita.
Jelas sekali belum ada fasilitas umum di pantai ini. Tidak ada
permainan2 air layaknya di pantai Carita, tidak ada hotel besar, jalan
menuju kesini juga tidak bagus. Jelas sekali, pantai ini masih
'tersembunyi'. Berhubung gw pergi saat libur lebaran dan saat itu musim
kemarau, terlihat banyak (nggak byk2 amat sih) turis lokal dan beberapa
turis mancanegara yang berjalan sambil menenteng papan surfing.
Walaupun musim kemarau dan matahari saat itu sangat terik, tapi air
lautnya dingin menyegarkan. Setelah puas foto2, penjaga warung bilang
dari pantai bisa jalan langsung ke Tanjung Karang. Akhirnya adventure
hari pertama dimulai.. Sambil sebentar2 berhenti untuk foto, gw bersama
keluarga memutuskan untuk jalan ke Tanjung Karang. Melewati pantai
berpasir, berkarang sampai jalan kembali ke tanah. Saat itu pikiran gw
cuma satu, mengejar sunset. Dan inilah Tanjung Karang yang tersohor
itu..
hati2 saat berjalan menuju karangnya karena byk sekali bintang laut di air
Pesona Tanjung Karang memang cukup terkenal diantara fotografer,
buktinya cukup banyak fotografer yang berseliweran membawa kamera DSLR
dan tripod masing2. Sayangnya saat itu langit tidak mendukung karena
agak sedikit mendung. Karena air laut sedang surut, banyak biota laut
yang terperangkap di antara karang.
bulu babi
deburan ombak di Tanjung Karang
maaf msh amatiran
sunset di Tanjung Karang
Setelah puas foto2 dan mengingat hari sudah mulai gelap, kami
memutuskan kembali ke homestay. Satu hal yang harus diketahui, yaitu
minimnya penerangan jalan (hanya dari motor yang lewat dan rumah2)
sehingga harus berhati2 apabila berjalan. Sampai di homestay, langsung
kalap.. Lapar, capek, ngantuk, dan pengen mandi bercampur jd satu.
Akhirnya setelah makan dan mandi, teparlah gw di ranjang, mengingat
jadwal bsk pagi berangkat jam 7 pagi untuk ke pantai yang kata tour
guidenya, bisa buat berenang karena ombaknya gak gede2 amat dan indah :)
Pagi yang cerah di hari kedua. Rencananya hari ini kita mau pada
mandi di pantai Lagoon Pari. Tapi ada perubahan rencana, yaitu gak
langsung ke pantai tapi ke Goa Lalay terlebih dulu. "Pergi liat goa
dulu, baru nanti ke pantai, terus baru deh pulang" itu kata saudara gw.
Maka setelah makan dan cuci muka (tanpa mandi ;p) mulailah adventure
hari kedua. Awalnya gw kira, dari homestay ke Goa Lalay itu gak jauh,
tapi pikiran itu langsung gw enyahkan. Ntah kami memilih jalan yang jauh
atau apa, tapi kok rasanya gak nyampe2. Di mulai dari menyebrangi
sungai kecil di dekat homestay, menyusuri pematang sawah dengan padi yg
sudah menguning (cantik sekali) menembus hutan, akhirnya sampailah di
Goa Lalay.
menyusuri pematang sawah
hati2 jln d pematangan sawah, buktinya sudah byk korban yg nyungsep!
Setelah bertanya2 kepada penduduk sekitar, ternyata Lalay berarti
kelelawar aka kalong. Maka tak heran bila byk kelelawar di Goa ini
(perhatian: kelelawarnya terdapat di bagian dalam gua, jd ketika gw
menyusuri gua, gw sama sekali gak liat kelelawar sebiji pun). Jika
menelusuri gua ini, membutuhkan waktu 2 hr 2 mlm dan akan nembus ke
Pelabuhan Ratu. Goa ini katanya memiliki patung monyet, ular, dll. Tapi
pas gw liat, kok gak ada mirip2nya yah sama monyet. Gw bertanya2 apakah
gw yg salah liat atau emang sama sekali gak kyk monyet. Dan kakak gw
bilang emang gak kyk monyet hoho. Oh ya jika mau menyusuri gua ini,
diharuskan membuka sepatu atau sandal karena dasar gua ini (yg kita
injak) adalah lumpur dan air. Dan disarankan memakai celana pendek jika
tdk mau celananya basah (walaupun airnya hanya sedengkul).
yang kami injak seperti tanah liat, sehingga licin. harus hati2 menaikinya
patung monyet (?)
air sedengkul di Goa Lalay
Sebelumnya gw bilang, kita gak liat kelelawar karena kita gk jauh2 amat
dan ada satu alasan di balik itu. Kami membuawa 2 senter (1 yg
cahayanya kuning dan 1 yg putih) dan 1 emergency lamp tapi ditengah
jalan, emergency lamp yg dibawa tour guidenya mati. Oh ya sebelum itu
ada satu cerita yg cukup creepy, ketika hendak berfoto, seperti
yang bisa dilihat di foto, kita harus naik ke tanah liat yang licin.
Persis di depan gw ada 2 saudara gw, 1 ibu dan anaknya. Pas anaknya mau
naik (di tarik ibunya) ke tanah liat, terdengar suara jeritan anak
perempuan.. "Aaaaaa..." Dengan polosnya gw pikir kalo saudara gw yang
teriak. Pas gw tanya dia, dia blg dia gak teriak. Jadi siapa dong yg
teriak mengingat saudara gw yg lain ud pada gede2 dan gak mungkin teriak
kyk gt. Tapi dalam pikiran gw, gw yakin itu suara kelelawar. Nah
setelah emergency lampnya mati, akhirnya kami batal lanjut ke bagian
dalam yg katanya lumpur semua. Sebenernya gw jg agak takut sama air yang
kita injak karena kata penduduk sekitar, baru2 ini Pandji yang punya
acara nangkep2 ular di TV, nangkep ular sanca di gua itu. Maka
kembalilah kami ke luar gua untuk melanjutkan perjalanan ke Lagoon
Pari. Ajaibnya, ketika sampai di luar, emergency lamp itu nyala
kembali..
Kami pun
kembali menyusuri pematang sawah dengan padi yang siap dipanen. Tapi,
ada hal yang mengejutkan gw. Jalan ke Lagoon Pari lebih jauh drpd ke Goa
Lalay oh noo... semoga gw sanggup. Kali ini gw bener2 mendalami lagu
ninja hatori 'mendaki bukit lewati lembah' cuma bedanya, gw bukan
sekadar mendaki bukit dan melewati lembah tapi juga pematang sawah,
sungai, jalan berbatu. Rasanya pas pulang ke rumah gw bakal jd Hulk
nih.
padi yang siap dipanen
four leaf clover!!
Setelah
melewati 3 turunan ribuan tanjakan (lebay hehe) dan jalan2 berbatu yang
bikin kaki sakit (apalagi pakai sendal jepit! hiking pk sendal jepit
bukan pilihan yang tepat) mulai terdegar suara ombak dan sedikit demi
sedikit pantainya pun terlihat. Emang bnr yah kata pepatah harus
bersusah-susah dahulu baru bersenang-senang kemudian.
pantai di kejauhan
semakin mendekati
dan akhirnya :') sampai di Lagoon Pari
bersihnya pantai yang masih 'perawan'
gradasi warna air Lagoon Pari
Sayangnya pasir di pantai ini buka seperti di pantai Pasir Putih
Ciantir yang seperti bedak bayi, disini banyak karang2 kecil yg bikin
kaki sakit bila diinjak (ada beberapa bagian yang pasirnya halus di
bagian agak dalam). Maka bila bermain air dan terseret ombak, jangan
heran bila sampai banyak luka2 bahkan sampai berdarah. Untungnya gw
walaupun terseret ombak, jatuh, sampai minum air laut 2 kali tapi gak
ada satu luka pun yang hinggap di badan gw. Puas main air, kami
memutuskan kembali ke homestay berhubung saat itu sudah jam 1, wktnya
mkn siang. Kami pun meminta tour guide untuk kembali ke homestay lewat
jln yg dekat (tdk lewat menuju ke pantai yg tadi kami lewati). Akhirnya
setelah melewati bukit, kami dihadapkan pada jembatan gantung yg lebih
panjang drpd jembatan gantung untuk menuju pantai Pasir Putih. Dan
lengkaplah adventure hari itu karena setelah tadi mendaki bukit, lewati
lembah, sawah, menyebrangi sungai dan jalan berbatu, sekarang kami
melewati pagar rumah org atau bisa dibilang lewat pemukiman penduduk.
jembatan gantung yg berbeda dr jembatan gantung menuju pantai Pasir Putih
Ada
rencana habis mkn siang akan pergi ke Pulau Manuk tapi dibatalkan
karena rombongan sudah terlalu capek untuk berjalan lagi, akhirnya
sampai hari kedua berakhir, kami stay di homestay untuk beristirahat.
Hari ketiga, saatnya pulang. Berhubung ini adalah hari terakhir libur
lebaran bagi sebagian mahasiswa dan pegawai kantoran, bisa dipastikan
semakin siang maka akan semakin macet. Maka kami berangkat pagi dan
memilih jln lain (untuk pulang) ke arah Pelabuhan Ratu ke arah Ciawi
Bogor, kemudian ke arah tol Jakarta. Sebelum pulang, kami singgah
terlebih dahulu ke Vihara Nam Hai yang berlokasi di desa Kertajaya/Loji,
Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa
dibagun dibukit dengan ratusan anak tangga oleh Anothai Kamonwathin
atau biasa dipanggil Mama Airin. Puas foto2, gw bersama keluarga pun
kembali melanjutkan perjalanan pulang
berfoto di depan patung ular